Rabu, 21 Juli 2010

Khalifah Akhir Zaman


Setiap jiwa pasti akan merasakan kematian. Bagaimana tidak, kematian adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan. Yang terpenting bagi manusia adalah bagaimana menjalani kehidupannya yang singkat ini dengan penuh manfaat, sehingga kematian yang datang akan menjadi gerbang yang mengantarkan dirinya menuju kebahagiaan dan kenikmatan yang hakiki.
Berita tentang kematian memang senantiasa terasa pahit. Demikianlah yang dirasakan umat Islam tatkala mendengar kemangkatan Habib Abdul Qadir bin Ahmad as-Segaf, seorang ulama, cendekia, pakar segala bidang ilmu, dan tokoh yang sangat getol menyebarkan ilmu dan dakwah kepada kaum muslimin di seluruh penjuru dunia. Beliau wafat tepat pada subuh Ahad 19 Rabiul Akhir 1431 Hijriah atau 4 April 2010 Masehi di kota Jedah, Saudi Arabia. Jenazah beliau dikebumikan di pemakaman Ma'la Mekkah Almukarromah. Sholat jenazah dilaksanakan hingga 3 kali, di kediaman beliau di Jeddah, di Masjidil Haram dan di pekuburan Ma'la.
Tak bisa dipungkiri, Habib Abdul Qadir bin Ahmad adalah fenomena abad ini. Beliau telah ditakdirkan sebagai penerus kepemimpinan salaf. Beliau merupakan imam yang menjadi rujukan segala persoalan dan kegundahan yang dialami umat. Tengoklah apa yang diucapkan Habib Alwi bin Abdullah as-Segaf, seorang mufti Sewun yang meninggal dunia di Mesir pada tahun 1392 H. Beliau berkata, “Tatkala kamu (Habib Abdul Qadir bin Ahmad) duduk di hadapanku, sedang aku tengah mendapatkan suatu persoalan yang pelik, maka cukup dengan memandangmu, dan persoalan itu pun terurai …”
Di dalam hidup ini sebenarnya tak ada jalan pintas menuju kesuksesan. Setiap orang harus mendaki tebing terjal agar dapat mencapai suatu puncak. Itulah yang dijalani Habib Abdul Qadir bin Ahmad. Sejak usia yang sangat belia, beliau mendapatkan pendidikan yang intens dari sang ayahanda, Habib Ahmad bin Abdurrahman as-Segaf. Habib Abdul Qadir memang beruntung mempunyai orang tua yang hebat. Habib Ahmad adalah seorang ulama yang berpengetahuan luas dan sangat disegani. Di masanya, Habib Ahmad dijuluki “Khalifatus Salaf” (Sang Penerus Salaf). Ia adalah murid kesayangan Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi, Shahibul Maulid, bahkan murid pertama yang mendapat izin dari Habib Ali untuk mengajar dan berdakwah.
Habib Abdul Qadir memang dikader untuk menjadi khalifah. Beliau mendapatkan perhatian dan tarbiyah khusus dari Habib Ahmad. Sejak usia kanak-kanak, Habib Abdul Qadir senantiasa berada di dekat ayahnya, sampai wafatnya sang ayah pada bulan Muharram tahun 1357 Hijriah.
Selain kepada ayahandanya, Habib Abdul Qadir mempelajari dasar-dasar ilmu agama kepada Syeikh Thaha Abdullah Bahmid. Beliau tercatat pernah menuntut ilmu di Madrasah an-Nahdhatul Ilmiyyah. Beliau juga berhasil menghafal Al-Qur’anul Karim dan menguasai qiraah as-sab'ah di bawah bimbingan Syeikh Hasan bin Abdullah Baraja.”
Habib Abdul Qadir bin Ahmad memperdalam ilmunya dengan belajar kepada ulama-ulama besar yang telah mencapai tataran mufti di Hadramaut. Di antara guru-guru beliau adalah Habib Muhammad bin Hadi as-Segaf, Habib Abdurrahman bin Ubaidillah as-Segaf, Habib Hamid bin Alwi al-Bar, Habib Abdullah bin Umar as-Syathiri, Habib Musthafa bin Ahmad al-Muhdor, Habib Umar bin Hamid As-Saqqaf, Habib Abdullah bin Alwi Al-Habsyi, Habib Umar bin Abdul Qadir As-Saqqaf, Habib Abdullah bin Aidrus dan masih banyak yang lain lagi.
Karena masih ingin memperluas pengetahuannya, Habib Abdul Qadir memutuskan berhijrah ke Haramain untuk menimba ilmu kepada beberapa pakar ilmu di negeri itu. Di sini beliau belajar pada Habib Abu Bakar bin Salim al-Bar, Habib Hasan bin Muhammad as-Segaf dan lainnya.
Kecerdasan dan ketekunan dalam menggali pengetahuan dari para ulama itu mengantarkan Habib Abdul Qadir menjadi orang yang alim. Ia menguasai berbagai bidang ilmu, mulai fikih, hadits, tarikh, sastra, tasawuf dan lainnya. Dipadu dengan akhlaknya yang santun, wara’, rendah hati, dan dermawan, maka lengkaplah sosok Habib Abdul Qadir sebagai seorang ulama. Da’wahnya diterima semua kalangan, baik orang-orang awam maupun kaum intelektual. Para ulama pun tak canggung menahbiskan beliau sebagai qutub (pemimpin ulama) di abad ini.

PRIBADI YANG LEMBUT
Habib Abdul Qadir bin Ahmad as-Segaf lahir di kota Sewun, Hadramaut pada bulan Jumadal Akhirah tahun 1331 Hijriah atau 1911 Masehi. Beliau dibesarkan di tengah kultur salaf yang sangat kental. Ayahnya, Habib Ahmad, senantiasa mengajarkan nilai-nilai keagamaan dengan kedisiplinan tinggi. Habib Ahmad mengharuskan putra-putranya melaksanakan shalat dengan berjama’ah, terutama di Masjid Thaha, Sewun.
Lingkungan itu membentuk pribadi Habib Abdul Qadir menjadi seorang yang istiqamah. Belakangan, sebelum pindah ke Hijaz, beliau dikenal sangat memperhatikan kemakmuran masjid Thaha yang didirikan datuknya, Habib Thaha bin Umar as-Segaf. Di masjid ini ia senantiasa melaksanakan shalat jama’ah dan menghadiri berbagai majelis. Semangat untuk menghidupkan masjid peninggalan para salaf itu beliau wariskan kepada sanak keluarga. Habib Thaha bin Hasan as-Segaf, keponakan Habib Abdul Qadir berkisah,
“Suatu malam, terdengar pengumuman dari instansi pemerintah akan adanya pertemuan di suatu tempat (di Sewun) seusai shalat maghrib. Aku melaksanakan shalat maghrib di masjid Thaha lalu keluar untuk sekadar menyaksikan pertemuan itu. Ketika itu aku masih kanak-kanak. Selepas Isya’ aku pulang ke rumah Habib Abdul Qadir. Begitu melihatku, beliau langsung menyapa, ‘Hai Thaha, di mana kamu setelah maghrib tadi? Aku mencari-carimu di sekeliling masjid Thaha, tapi tak mendapatkanmu. Kamu tak kelihatan melakukan hizib di majelis. Kutanyakan kepada temanmu, Ahmad bin Shofi perihal keberadaanmu, tapi ia mengatakan tak tahu. Pergi ke mana kamu?’ demikian kisah Habib Thaha.”
Aku pun mengaku bahwa usai melaksanakan shalat maghrib di masjid Thaha aku keluar untuk melihat pertemuan. “Apa yang kamu dapatkan dari pertemuan itu?” tanya beliau. “Apakah mereka mengundangmu? Aku saja yang mendapat undangan tidak hadir.” Aku diam tidak menjawab. Namun hatiku merasakan penyesalan yang sangat besar. Beliau telah memberiku nasehat dengan cara yang begitu lembut, tanpa celaan, tanpa kata-kata kasar.”

PUNCAK PRESTASI
Semangat da’wah Habib Abdul Qadir sangatlah besar. Beliau berkeliling dunia untuk mengajak umat Islam kembali kepada ajaran Rasulullah SAW. Beberapa negara yang kerap beliau kunjungi antara lain: Indonesia, Malaysia, Singapura, Syam, Mesir, Irak dan negara-negara muslim di Afrika.
Ya, Habib Abdul Qadir telah mencapai puncak prestasinya. Ilmu dan akhlak beliau tak tertandingi di masanya. Salah seorang karib beliau, Habib Ibrahim bin Aqil bin Yahya bersyair:

Sang Ilahi telah menghimpun segala sifat elok
Di dalam diri Al-Ghauts Abdul Qadir as-Segaf

Dengannya Al-Maula SWT menghidupkan ilmu kitab-Nya
Berkatnya jalan para salaf senantiasa lurus….

Semasa hidupnya, Habib Abdul Qadir telah mengkader para pemuda generasi di bawahnya untuk menjadi ulama penerus. Di antara murid-murid beliau adalah Habib Thaha bin Hasan as-Segaf (keponakan beliau sendiri), Habib Salim bin Abdullah as-Syathiri (Sultan Ulama, pengasuh Rubat Tarim), Habib Abu Bakar al-Adniy bin Ali al-Masyhur, Sayid Muhammad bin Alwi al-Maliki, Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith, Habib Umar bin Muhammad bin Hafidh, Habib Husein bin Muhammad bin Hadi as-Segaf, Habib Abdul Qadir bin Salim Khired, Habib Muhammad bin Abdullah al-Muhdor (Mufti Hiban), Habib Umar bin Hamid al-Jilaniy, dan Habib Ali bin Abdurrahman al-Jufriy. Kalam-kalam beliau di berbagai kesempatan dicatat dan dibukukan oleh dua murid beliau, Habib Thaha bin Hasan as-Segaf dan Habib Abu Bakar al-Adniy bin Ali al-Masyhur.
Kini beliau telah pergi menghadap Sang Khalik. Beliau meninggalkan kita di dunia yang semakin senja dan gelap ini. Sesungguhnya, kita semua masih sangat membutuhkan tuntunan orang-orang seperti beliau ini. Kita masih begitu rapuhnya untuk dapat berjalan sendiri tanpa bimbingan. Sekalipun begitu, dengan berpegang pada nilai-nilai yang diwariskannya,Insya Allah kita akan bisa melangkah dan sampai di tujuan dengan selamat…..!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar